Minggu, 09 Januari 2011

Arab Sedih, tetapi Pasrah

KOMPAS — Meski bersedih hati, opini umum dunia Arab akhirnya bisa menerima realitas jika sebuah negara Arab terbesar secara geografis memisahkan diri. Kali ini terkait dengan Sudan, yang berpotensi terpecah menjadi dua, yakni Sudan utara dengan penduduk mayoritas keturunan Arab beragama Islam dan Sudan selatan yang berpenduduk mayoritas etnis Afrika hitam dengan agama Kristen.

Dunia Arab akhirnya tampak bersedia menghormati aspirasi sebuah bangsa baru yang menginginkan memisahkan diri sejak 50 tahun lalu. Sudan selatan telah mengorbankan ratusan ribu penduduknya, termasuk yang tewas dan luka-luka, dalam peperangan yang tak pernah henti sejak merdeka dari Inggris tahun 1956.
Rakyat Sudan selatan selalu berdalih diperlakukan tidak adil atau warga kelas dua di Sudan yang selama ini dikuasai penduduk Arab Sudan. Faktor ini dijadikan sebagai alasan untuk memisahkan diri lewat referendum selama tujuh hari yang dimulai pada hari Minggu (9/1/2011).
Zaman sudah berubah. Pandangan kaum nasionalis Arab radikal, yang menganggap kesatuan Sudan sebagai suatu kesakralan, sudah tidak mampu lagi dipertahankan. Sikap ini tak mampu membendung perubahan zaman.
Harus disadari, wilayah Sudan selatan secara geografis tidak berada di sub-Sahara bagian utara yang bercorak gurun sahara serta berpenduduk etnis Arab. Wilayah selatan berada di sub-Sahara bagian selatan, tepat berada di lintasan garis khatulistiwa dengan karakteristik hutan lebat dan curah hujan sepanjang tahun.
Karakteristik geografis dan iklim yang kontras antara Sudan selatan dan dunia Arab itu, ditambah lagi dengan perbedaan agama, etnis, bahasa, budaya, dan latar belakang sejarah, membuat dua wilayah di Sudan ini tak pernah merasa dekat.
Singkat kata, Sudan selatan jauh lebih dekat dengan Afrika ketimbang dunia Arab.
Afrika mendukung
Masyarakat internasional dan regional, khususnya negara-negara Afrika, kini bersatu mendukung pemisahan Sudan selatan dari utara dengan dalih perbedaan karakteristik itu.
Kisah lahirnya negara kesatuan Sudan yang menghimpun Sudan utara dan Sudan selatan dengan segala perbedaan karakteristik itu adalah semata-mata rekayasa kolonial Inggris dan Mesir.
Muncul rumor, penjajah Inggris memisahkan Sudan dari Mesir dengan mendukung deklarasi negara Sudan merdeka pada tahun 1956. Sebagai kompensasi untuk meredam kemarahan Mesir dan sekaligus memuaskan Sudan utara saat itu, Inggris menggabungkan Sudan selatan dengan Sudan utara. Kini setelah lebih dari 50 tahun pemisahan Mesir dan Sudan, kesatuan Sudan tidak bertahan pula.
Sudan selatan akhinya mencoba memisahkan diri dari Sudan utara dengan cara elegan dan konstitusional sesuai dengan kesepakatan damai Nifasha di Kenya tahun 2005. Kesepakatan damai tersebut antara lain memberikan hak untuk menentukan sendiri bagi rakyat Sudan selatan, setelah enam tahun sejak penandatanganan kesepakatan itu.
Bisa jadi, jalan pemisahan itu justru merupakan cara untuk menyelamatkan Sudan meskipun masih banyak isu yang menggantung, seperti isu sengketa wilayah Abyei yang kaya minyak itu.
Ini adalah wilayah yang menjadi faktor utama perselisihan di samping berbagai faktor lainnya. Di Abyei, segala kepentingan bertemu dan melahirkan bentrokan yang berpotensi memecah Sudan. Faktor kekuatan domestik dan asing, termasuk peran korporasi perminyakan global, turun bermain.
Pemimpin lemah
Kasus Sudan sekaligus mengingatkan kita kembali tentang berbagai konflik di seluruh dunia yang pada umumnya terjadi di wilayah yang kaya dengan sumber daya mineral. Ketiadaan kepemimpinan yang kuat, alias lemahnya pemerintah, hanya memuluskan niat asing untuk memecah belah negara kaya minyak.
Pemisahan Sudan juga menimbulkan masalah kewarganegaraan menyangkut etnis Arab yang tinggal di selatan dan etnis Afrika yang bermukim di utara. Jika terpecah, Sudan juga memiliki masalah soal pembagian beban utang luar negeri serta aset pembagian antara Sudan utara dan selatan.
Namun, Sudan selatan tidak hirau akan segala persoalan itu. Presiden de facto wilayah Sudan selatan yang juga Wakil Presiden negara kesatuan Sudan, Salva Kiir, menegaskan soal komitmen untuk hidup berdampingan secara damai antara Sudan selatan dan utara.
Ia menambahkan, ”Mulai hari ini tidak ada lagi perang.”
Presiden Sudan Omar Hassan Al Bashir ketika mengunjungi Juba (ibu kota Sudan selatan), Selasa pekan lalu, juga menyatakan, ”Sudan adalah negara pertama yang akan mengakui negara baru Sudan selatan jika rakyat wilayah itu memilih memisahkan diri.”
Komentar positif dari dua pemimpin tersebut tentu sangat jauh lebih baik dibandingkan dengan jalan perang yang dipilih kedua kubu selama hampir 50 tahun terakhir ini.
Ke depan, Sudan utara bisa lebih fokus pada isu-isu domestiknya, seperti isu Darfur, sistem politik, dan ekonomi. Sudan selatan juga bisa segera membenahi diri dengan melakukan rekonsiliasi antara suku-suku di selatan dan melakukan pembangunan ekonomi yang menjadi tantangan terberat bagi negara baru itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar