JAKARTA, KOMPAS — Mereka yang beranggapan bahwa monarki Yogyakarta bertentangan dengan demokrasi, telah menyakiti rakyat. Pernyataan seperti itu tidak sesuai dengan fakta sejarah.
”Yogyakarta telah menyelamatkan RI di masa-masa sulit tatkala penguasa negeri ini lahir saja belum. Saat baru berdiri, Republik hampir ambruk karena Belanda datang lagi. Sultan menawarkan ibu kota pindah ke Yogyakarta dan Republik terus berlanjut,” papar guru besar emeritus administrasi pemerintahan dan sosiologi dari Universitas Airlangga Surabaya, Soetandyo Wignyosoebroto, Senin (29/11/2010).
Sebelumnya, beberapa media memberitakan, terkait penyusunan Rancangan Undang-Undang Keistimewaan (RUUK) DIY, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada saat membuka rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (26/11/2010), menyatakan, nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu, tidak boleh ada sistem monarki yang bertabrakan, baik dengan konstitusi maupun dengan nilai-nilai demokrasi.
Staf Khusus Presiden Bidang Pembangunan Daerah dan Otonomi Daerah Velix Vernando Wanggai kepada Kompas kemarin mengemukakan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam RUUK Keistimewaan Yogyakarta, masih belum menetapkan peranan Sultan sebagai kepala daerah atau gubernur, atau tetap sebagai Sultan.
Prinsip yang dipegang Presiden Yudhoyono, kata Velix, adalah mewujudkan format dan konstruksi kelembagaan daerah yang arif guna menggabungkan warisan tradisi Keraton dengan sistem demokrasi yang telah berkembang selama satu dekade di era reformasi ini.
”Karena itu, tidak ada maksud untuk membenturkan konteks sejarah dan tradisi dengan sistem demokrasi dan hukum,” ujar Velix.
Namun, Sultan Hamengku Buwono X justru mempertanyakan draf RUUK DIY yang diajukan pemerintah kepada DPR, apakah itu justru bukan bernapaskan sistem monarki? Ia menunjukkan, di dalam draf RUUK DIY itu Sultan HB X dan Paku Alam yang bertakhta akan menduduki jabatan baru, yaitu Parardhya, yang memiliki beberapa kewenangan khusus.
”Di dalam draf RUUK pemerintah, Sultan dan Paku Alam ada di dalam institusi Parardhya, yang mendapatkan hak imunitas, ini berarti tidak bisa dijangkau hukum, apakah itu tidak bertentangan dengan konstitusi? Apakah itu demokratis atau malah monarki?” katanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar