KOMPAS. - ”Saya katakan, Jakarta, siapa engkau. Kaulah cahaya dan cinta,” kata gitaris Carlos Santana di atas panggung Java Jazz di Jakarta, Jumat (4/3/2011) malam.
Kata-kata Santana itu diucapkan di tengah-tengah lagu ”A Love Supreme”. Ia mengenakan topi panama khasnya dan tetap berkumis pula. Lelaki kelahiran Tijuana, Meksiko, ini terkesan sedang ”berkhotbah”.
Matanya terpejam, dengan jari-jari siap merayapi dawai gitar lalu ia berkata, ”I say, Jakarta, who are you. You are light and love....” Lalu ia mengajak tak kurang dari 8.000-an penonton berseru, ”Light and love... light and love....” Maka, arena festival jazz itu dipenuhi suara dari ribuan mulut yang secara ritmis mengucap serupa mantra cahaya dan cinta itu.
Santana menjadi salah satu bintang pada perhelatan yang resminya bernama Axis Jakarta International Java Jazz Festival 2011 itu. Bintang lain ialah Roy Hargrove Quintet, George Benson dan Corrine Bailey Rae, Joey De Francesco, sampai Fourplay.
Santana termasuk bintang yang paling ditunggu-tunggu publik. Tiketnya ludes terjual untuk dua hari pertunjukan pada Jumat dan Sabtu. Sekitar satu jam sebelum pintu gedung dibuka, lima lapis antrean panjang penonton sudah mengular sampai sekitar 100 meter.
Tampak ada dua lapis generasi penonton, yaitu orang-orang yang mengalami masa remaja pada era 1970-an dan remaja era 2.000-an, plus remaja hari ini.
Santana memang melintas generasi. Itu bisa disimak dari lagu-lagu yang disuguhkan malam itu. Ia memainkan lagu-lagu yang dipopulerkannya pada era awal 1970-an, seperti ”Black Magic Woman”, ”No One to Depend on”, sampai ”Oye Como Va”.
Dari lagu kondangnya era akhir 1990-an sampai awal 2.000-an disuguhkan ”Maria-Maria”, ”Corazon Espina”, dan menjelang akhir konser ia mainkan ”Smooth”. Satu lagu kondang Santana era awal 1970-an, yaitu ”Guajira”, hanya disisipkan potongannya di tengah lagu ”Corazon Espina”.
Santana memberi wejangan pada penonton untuk selalu menghormati perempuan. ”Kalau perempuan tidak bahagia, ekonomi bisa ambruk...,” katanya sambil membalikkan jempol tangan ke bawah. Penonton tertawa, lalu mengalunlah ”Maria-Maria” dan penonton pun menjerit-jerit histeris.Latin ”abis”
Semua lagu-lagu di atas membuat ribuan penonton meledak dalam tepuk sorak riuh. Lagu-lagu tersebut disuguhkan dengan gaya khas Santana yang—meminjam bahasa gaul—rock banget, Latin abis. Kelatinan Santana terasa pada cengkok melodi. Lagu apa pun yang disentuh Santana akan terdengar rasa Latin-nya, termasuk ”Smooth”.
Sosok Latin juga terdengar dari perkusi dan drum yang masif. Santana membawa dua perkusionis, yaitu untuk conga dan timbales. Gaya Latin rock ala Santana ini pada awal 1970-an menjadi wabah pada band di panggung di negeri ini. Sampai-sampai orang menyebut Latin rock sebagai musik Santana.
Cita suara gitar Santana yang sangat khas dan menjadi paraf atau torehan personalnya itu sudah terdengar sejak ia tampil di Festival Woodstock 1969. Dalam perbincangan dengan Kompas,Santana mengatakan, sound atau cita suara gitar ibarat sidik jari. Cita suara gitarnya terbentuk dari dua hal. Pertama dari pengaruh luar, seperti gitaris Stevie Ray Vaughan, Jimi Hendrix, sampai BB King, juga dari legenda jazz (nongitaris), seperti Miles Davis dan John Coltrane.
”Saya menyebutnya sebagai S-O-O, sound of collective consciousness (suara dari kesadaran kolektif).” Namun, ia juga percaya pada kesertaan kekuatan di luar dirinya.
”Saya ingin seperti anak umur 7 tahun yang bangun tidur selalu dengan rasa kekaguman. And that’s why music for me is not a job, but a joy (Itu mengapa musik bagi saya bukan pekerjaan tapi sukacita).”
Tulen
Rasa musik dan suasana yang sangat berbeda terasa pada penampilan Roy Hargrove Quintet. Mereka menyuguhkan rasa jazz tulen. Seperti pada tahun lalu, Roy dan kawan-kawan memainkan ”You’re My Everything”. Roy dengan mata terpejam memainkan flugehorn, alat serupa terompet, dengan sangat lembut, nyaman, nikmat, dan membuai. Penampilan Roy Hargrove ditonton penikmat jazz tulen pula, antara lain Bubi Chen.
Rasa jazz di Java Jazz juga dijaga dengan setia oleh Ron King Big Band yang telah lima kali tampil di Jakarta. Ia membawakan komposisi standar jazz, mulai ”Polka Dots and Moonbeams” sampai ”Up Jumped Spring”-nya Freddie Hubbard. Kehadiran Ron King menjadi pembelajaran tentang jazz standar bagi pengunjung festival. Dan, yang menarik dalam penampilan Ron King, pengunjung menikmati dengan serius.
Pada penyelenggaraan yang ketujuh ini, Java Jazz semakin menampakkan sosoknya sebagai pesta raya penikmat jazz. Batas antara jazz dan bukan jazz bukan persoalan bagi penonton karena rakyat membutuhkan hiburan, sukacita, apa pun nama jenis musiknya. Seperti dikatakan Santana, musik itu sukacita. Sukacita dari orang-orang pembawa cahaya dan cinta: ”Light and love, light and love....”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar