JAKARTA, KOMPAS — Jam sudah menunjukkan pukul 20.15 WIB, tetapi Kitaro yang ditunggu-tunggu belum muncul di panggung. Penonton pun mulai gelisah. Mereka bertepuk tangan tanda tak sabar ingin segera menyaksikan musisi gaek asal Jepang itu di Jakarta Convention Center (JCC) pada Kamis (7/4/2011).
Akhirnya, setelah menunggu 10 menit, tepat pukul 20.25 WIB, lampu panggung dimatikan, awak Kitaro muncul disertai tepuk tangan panjang penonton.
Saat lampu menyala kembali, tampak di panggung belakang terdapat dua taiko ukuran besar dan beberapa timpani serta seperangkat drum. Di panggung bagian depan berjajar tiga perangkat set keyboard.
Tanpa kata pembuka, Kitaro langsung membuka pertunjukan dengan lagu "Sanctus-Waterphone-Guzheng-01w (Keiko)". Bunyi synthesizer mengalun dengan nuansa mistis, disertai suara genta. Dan, bagai kesatria samurai, Kitaro menggerakkan tangan kirinya seirama deru suara angin dari keyboard yang dimainkannya bersama dua pemain keyboard perempuan yang mendampinginya. Tak lama Kitaro di papan musik itu, selanjutnya dia mencabik-cabik sitarnya. Maka, tergelarlah nuansa pegunungan dengan pepohonan pinus berembun yang tertiup angin berembus lirih.
Kitaro pun mulai membangun suasana dengan lagu "Fire, Pan Flute (an/f)" dan "Wind and Wafe". Pada "Fire Pan Flute", Kitaro memainkan gitar senar 12 yang bergemerincing, lagu ini berproses dari lembut, sebelum akhirnya mulai menggelegak menuju klimaks, saat semua peralatan seperti drum, biola, gitar elektrik, dan keyboard mulai dimainkan.
Dua nomor cantik tersebut sungguh masih menempatkan Kitaro sebagai musisi dunia terdepan. Lelaki gondrong itu tak latah mencampuradukkan berbagai instrumen yang aneh-aneh. Rasanya, Kitaro tahu betul bagaimana mengolah musiknya yang berbasis musik tradisi Jepang menjadi komposisi yang bisa dinikmati oleh seluruh umat manusia. Idiom musik barat dari gitar, biola, dan keyboard tidak lantas menjajah musik etnik Jepang yang diusung Kitaro sejak mengawali solo karier pada tahun 1977.
Nama Kitaro yang diberikan kepadanya oleh teman-temannya dari tokoh film kartun Jepang, Kitaro, pun langsung mengukir namanya melalui dua album pertamanya Ten Kai dan From the Full Moon Story. Itulah tonggak awal kedatangan Kitaro di ranah musik dunia. Namanya kian berkibar saat dirinya membuat theme song untuk seri film NHK Silk Road.
Seusai lagu "Caravan" serta permainan perkusi Kitaro dan pemain drum, pria kelahiran Toyohashi, Prefektur Aichi, Jepang, 4 Februari 1953, itu membawakan "Free Flight". Komposisi ini menawarkan keluasan suasana, diperkuat dengan permainan tata lampu yang indah. Kitaro tampaknya paham betul dengan tuntutan penonton. Pada usianya yang tidak muda lagi, Kitaro tetap memiliki kesadaran untuk memberikan sajian, bukan saja permainan musiknya yang ekspresif, melainkan dia juga mengeksplorasi gerak tubuhnya sesuai suasana yang dibangun melalui musiknya. Berkali-kali tangan kirinya membentuk gerak seperti ombak, kadang mirip kepak sayap burung, kadang dengan ekspresif dirinya memimpin tempo para penggawa musiknya di panggung.
Pertunjukan pun kian terasa mendaki saat Kitaro menyajikan "Sky and Ocean", langit dan laut. Pria yang kala SMA menyukai musik soul dan rhythm and blues itu mulai menawarkan suasana mencekam di intro lagu, lalu ia pun memukul-mukul taiko secara ritmis sambil berteriak panjang. Koda lagu ini benar-benar mencapai klimaks yang menggetarkan lewat bunyi taiko yang ritmis digenapi teriakan panjang penuh tenaga.
Tentu saja, yang ditunggu-tunggu oleh penonton yang memenuhi tiga perempat bangku di JCC itu adalah lagu "Matsuri". Melodinya yang manis membuat lagu ini di awal pemunculannya pada tahun 1990 langsung diterima oleh penikmat musik Indonesia. Terlebih, kala itu stasiun televisi swasta pertama Indonesia, RCTI, nyaris tiap hari memutar klip video lagu "Matsuri".
Menjelang lagu terakhir, ia tak lupa mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Indonesia yang telah membantu Jepang setelah negeri itu dihantam gempa dan tsunami. Meski usia Kitaro telah 58 tahun, tetapi rasanya tidak ada yang berubah pada penampilan dirinya ataupun sambutan penonton Jakarta seperti kala menyambutnya 15 tahun yang lalu. Dalam suasana syahdu, Kitaro membuka lagu pungkasan "The Light of Spirit" dengan tiupan harmonika. Pertunjukan selama satu setengah jam itu pun berakhir dengan hikmat. Usia senja ternyata tak berarti apa-apa bagi Kitaro. Gairahnya dalam bermusik dan memberikan keindahan bagi kehidupan membuatnya tetap bertenaga dan dicintai oleh penggemarnya.