JAKARTA, KOMPAS - Ancaman pelambatan perekonomian Amerika Serikat dan kekhawatiran merembetnya krisis keuangan di Benua Eropa diprediksi akan berdampak pada penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Pemerintah diminta mencermati kondisi ini dengan saksama.
Kurs nilai rupiah Bank Indonesia, Kamis (4/8/2011), melemah sembilan poin terhadap dollar AS menjadi Rp 8.483 per dollar AS dibandingkan dengan posisi sebelumnya senilai Rp 8.475.
Namun, menurut pengamat pasar keuangan dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, pelemahan itu tidak akan lama karena investor saat ini berada di posisi menunggu dan memilih memegang dollar AS dalam bentuk tunai. ”Dari awal tahun, rupiah sudah terapresiasi sekitar 6 persen. Kondisi perekonomian global yang tidak menentu membuat aliran modal ke Indonesia tidak terelakkan karena fundamental ekonomi kita kuat,” kata Lana.
Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan Gusmardi Bustami mengatakan, kelesuan ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa yang membuat rupiah terus menguat tak perlu dikhawatirkan. ”Dampaknya memang persaingan perebutan pasar ekspor makin ketat. India dan China yang sebelumnya ekspor ke AS bisa saja mengalihkan barangnya ke Asia. Jika spesifikasinya sesuai dengan kebutuhan Indonesia, maka barang-barang itu perlu diwaspadai,” katanya.
Dia menambahkan, pengusaha harus menyikapi fenomena tersebut dengan memproduksi barang yang lebih kompetitif. ”Kalau tidak, bisa tergilas produk impor,” ujarnya.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia Benny Soetrisno mengatakan, importir kini menjadi sangat diuntungkan. Eksportir dengan bahan baku impor juga tidak banyak terpengaruh. ”Yang problematis justru industri yang menggunakan bahan baku dalam negeri. Mereka inilah yang sangat terpukul. Sebab, margin keuntungan sangat tertekan. Harga produk pun sulit berdaya saing,” tutur Benny.
Menurut Benny, idealnya pemerintah mengintervensi dengan kebijakan moneter agar nilai tukar mata uang berada di level Rp 9.000-Rp 9.500 per dollar AS. Impor harus dijaga ketat agar pasar domestik tidak kebanjiran produk impor yang sesungguhnya bisa diproduksi di Indonesia.
Menurut Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Ambar Tjahyono, rupiah perlu segera diintervensi. ”Barang-barang yang kami ekspor saat ini adalah pesanan saat kurs Rp 9.000. Artinya, eksportir harus menanggung kerugian yang tidak sedikit,” katanya.
Menurutnya nilai tukar ideal untuk rupiah adalah Rp 10.000-Rp 11.000 per dollar AS. Jika penguatan rupiah terus dibiarkan, impor justru melonjak. ”Barang-barang impor harganya jadi lebih murah. Jadi, mending beli barang impor daripada bikin sendiri,” ujarnya.